Pages

Rabu, 29 November 2017

Sekelumit Cerita Kehidupan Pribadi

Gak nyambu
Dulu, waktu kecil ketika abah sama umi bertanya suatu saat mau jadi apa, saya selalu menjawab, saya ingin menjadi Dosen terbang seperti Kiai A'la (Pengasuh Annuqayah Latee sekarang). Padahal, saya tidak pernah tahu siapa atau lebih tepatnya tidak bernah bertatap muka dengan Prof. K. A'la. Hanya sekedar diceritakan oleh orang tua bahwa beliau itu orang hebat.  Tak ada angan-angan untuk menjadi seseorang yang 'dekat' dengan politik, apalagi ikut-ikutan berpolitik.

Masa kecilku telah berlalu, lanjut pada masa kenakalan remaja, hingga masuk perguruan tinggi. Sejak itu pula, cita-cita kecilku mulai terlupakan. Impian saya mulai tidak terkonsep. Masa-masa MTS hingga SMA, mulai terbawa arus. Bahkan, pasca lulus SMA, dan hendak masuk kuliah, saya masih ikut arus. Akhirnya, kecelakaan terjadi, masuk jurusan perbankan syariah.

Kenapa dianggap kecelakaan? Karena sepertinya, lebih cocok apabila saya masuk ke Fakultas Hukum atau juga Sosial. Tapi saya tidak menyesal dengan semua pilihan saya hingga hari ini. Sebab, ada keyakinan bahwa, antara hukum, politik, ekonomi, sosial, pendidikan dst itu mempunya satu hubungan membentuk satu kesatuan yang tak terpisahkan. Itu yang saya pelajari dari seorang paman bernama Muhammad Affan, yang diambil dari teori Tao.

Lanjut masa study saya di perguruan tinggi, mengenal banyak teman baru. Pada akhirnya mengenal sebuah organisasi kemahasiwaan yang sampai saat ini 'diimani'. Dari situ, saya mulai menyadari apa tujuan pendidikan. 2012 yang lalu, masa awal kuliah mulai 'kenal' dengan tokoh-tokoh besar. Meski sekedar membaca, saya pernah mencicipi buku Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Syahrir, Marx, Lenin, Paolo Freire untuk berbicara konsep perjuangan.

Urusan Agama, saya bukan orang yang alim, akan tetapi, terlahir dari keluarga pesantren tentunya sudah mendapat bimbingan dari sejak lahir. Siksa neraka yang mengerikan, tuntunan salat, cerita kenabian, hingga pelajaran yang mungkin anak SMA belum pernah merasakan, saya mencicipi. Dan semua tidak lantas harus membuat saya puas, karena berkumpul dengan para guru, sekaligus paman, mbah dan saudara-saudara yang sudah ‘alim’, tentunya dengan sangat sadar diri mengatakan, saya hanya butiran debu di gurun pasir.

Ada sebuah kenangan yang sampai saat ini mungkin ‘berjodoh’ dengan kehidupan kaum ‘merah’ atau nasionalis. Suatu ketika mau berangkat mondok ke Pesantren Banyuanyar, Kabupaten Pamekasan, saya ‘mencuri’ buku abah berjudul “Obor Kebangkitan Rakyat” sayang saya lupa penulisnya. Buku yang kata abah ini pemberian dari paman Abdus Salam Syah (Dulu DPRD) ini menceritakan tentang perjalanan Sarikat Islam. Dalam buku itu juga disinggung mengenai perpecahan di internal SI, antara kelompok Hos. Cokroaminoto yang dikenal dengan SI Putih dengan kelompok Samaon atau yang dikenal dengan SI Merah pun juga dikenal SI Semarang.

Dari situ, saya bahkan menyebut seorang Samaon serta tokoh-tokoh SI Merah itu “Kiai”, hingga hari ini masih sering menggunakan panggilan itu. Kemudian, baru tahu bahwa SI Merah berubah bentuk menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Diam – diam, sebelumnya ada ketertarikan dengan seorang Samaon, sebab, beliau menjadi salah satu orang yang sudah bisa memimpin pergerakan diusia yang sangat muda, belasan tahun.

Abah yang Alumni Banyuanyar, masih sangat SI hingga sekarang. Bahkan, beliau selalu berkata sama anak-anaknya, karena doktrin dari seorang guru, selama masih ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP), beliau akan tetap menjadi pemilih partai berlambang Ka’bah tersebut. Makanya, kalau anak – anak abah suatu saat mau mencalonkan diri di Legislatif atau juga Kepala, dari Kabupaten hingga Negara agar beliau memilih, maka masuklah ke PPP.

Nah, lagi – lagi sayang, buku itu hilang setelah saya mondok di Al – Kautsar. Padahal, buku itu adalah buku ‘berat’ pertama untuk anak MTS hingga SMA waktu itu selesai dibaca.
SMA sederajat, saya menghabiskan 3 Lembaga Pendidikan. Pertama Al-Kautsar, lalu ke SMA Al-Azhar (Di dekat rumah, bukan kairo atau yang Jakarta sekolahnya Afgan), terakhir di SMK Mambaul Ulum Guluk-guluk. Akhir waktu SMA, takdir mempertemukan diri saya dengan paman dari pesantren Annuqayah, namanya Muhammad Affan. Baru setelah itu dengan keluarga besar pesantren yang lain. Sampai hari ini, panggilan “Paman” diganti dengan “Oppa”. Entah bagaimana awalnya kenapa harus diganti oppa.

Oppa itu seorang seniman tidak menunjukan ke-seniman-nya kepada khalayak. Beliau saudara penyair, penulis ‘keren’ Muhammad Faizi. Dari oppa lah perkenalan dengan dunia Tao, Rumi, hingga Nabi Muhammad SAW dari sisi yang sebelumnya belum diketahui. Salah satu kesan yang paling istimewa, adalah saat dimana saya dikenalkan kepada seorang Martin Lings, penulis buku “Muhammad” yang mencerahkan. Pelan-pelan beliau mengajarkan sejarah, dan ilmu yang nyerempet pada persoalan Agama dan Toleransi.

Tulisan Martin Lings saya pinjam hingga satu bulan lebih. Saya rela berbohong dengan makna yang sebenarnya agar bisa mengulang-ulang baca buku itu. Buku catatan mahasiswa Eropa yang didalamnya ada tulisan paman Muhammad Musthafa pun tidak terselesaikan hingga hari ini. Sebab, ada banyak sisi yang baru diketahui tentang Junjungan Islam, Nabi Muhammad. Oia, sekarang kita masuk bulan Maulid, boleh kita baca selawat dulu, Allahumma’ shalli ‘ala Muhammad. Tahun 2012 pinjam, 2017 buku Martin Lings sudah ada dibarisan perpustakaan pribadi.

Di Organisasi, literasi yang saya sebutkan sebelumnya membentuk mindset berkarakter nasionalis. Memang, Organisasi yang saya imani ini berpaham Soekarnoisme, atau Nasionalisme, lebih tepatnya Marhaenisme. Kaderisasi di dua kali di tempat yang berbeda, pertama di Pamekasan sendiri, dan kedua di Jember mengajarkan kepada saya untuk dekat dengan kaum ‘Marhaen’.

Buruh, Petani, bukan hal asing dalam pergaulan sehari-hari, apalagi pejabat, politisi dan para ‘pemain’ di tempat yang disebut ‘Parlemen Jalanan’. Disini, Dosen yang menjadi cita-cita kecil benar-benar terlupakan. Ada anggapan, ‘Demo’ dengan atas nama rakyat, apalagi yang benar-benar mendampingi rakyat merupakan pekerjaan yang paling mulia. Dosen, pejabat dan legislatif selalu ada ‘kemungkinan’ untuk salah, atau mungkin memang wajib disalahkan. Terutama, untuk dosen PNS yang juga menjabat di birokrasi kampus.

Ada banyak senior yang mau bersabar mengajarkan banyak ilmu. Beberapa orang yang paling berpengaruh dalam Organisasi, diantaranya, Mas Imam Khairullah, Mas Samhari, Mas Miftahuddin Hasan, dan yang lain yang tak bisa disebutkan satu-satu. Ada juga dari organisasi sebelah pun  tak kalah mempengaruhi pola organisasi saya, yakni mas Firman Syah Ali, Mas Agus Sudjarwadi dan yang lain.

Banyak pengalaman yang terlewati. Melihat banyak orang yang bermuka manis dan berteriak atas kepertingan rakyat, dibelakang melakukan transaksi yang menjijikkan, itu makanan sehari-hari saya. Berbicara kemerdekaan, tapi setiap gerakan mereka, ada yang intervensi. Persatuan, mereka bilang menjadi junjungan, namun ketika potongan kue tidak dibagi rata, kekuatannya dijadikan alat untuk pecah-belah. Ada yang berbicara Agama, tapi tak ada cerminan yang patut dicontoh dari prilakunya. Kehidupan menjadi penuh intrik, dan terbangun prinsip sederhana “Kalau tidak membunuh, maka akan terbunuh”.

Memang tidak semuanya yang menjadi monster. Masih ada sebagian kecil dari mereka yang mempunyai idealisme atau mereka yang tetap Tuhan jaga kepolosannya. Dari pergaulan itu, saya mulai mencari cara dan mendefinisikan sendiri apa itu ‘Perjuangan’. Mundur teratur dari pergaulan adalah cara paling ampuh ketika sudah merasa mau terjerumus lebih jauh. Dan, memilih memperbanyak ruang-ruang diskusi menjadi salah satu pilihan yang paling tepat untuk menerapkan konsep “Aksi Massa”.

Iya Aksi Massa, tulisan Datuk Ibrahim Tan Malaka. Di buku itu tertulis, perjuangan akan berjalan dengan ‘sempurna’ apabila kita mau bersabar mencerdaskan massa, atau rakyat, atau siapapun yang kita jadikan ‘objek’. Apabila massa itu sudah cerdas akan hak dan kewajibannya, mereka bergerak dengan sendirinya. Sehingga, ketika ada yang berbicara “Ini adalah suara rakyat”, ketika ditanya rakyat yang mana, maka, kita tidak akan tertunduk malu dan mencari pembenaran. Bukankah Nabi juga mengajarkan hal yang sama? Sehingga, salah satunya ketika beliau mengajak hijrah ke Madinah, para sahabat dengan sadar akan kebutuhan untuk hijrah tersebut.

Di periode ini, ada keinginan untuk masuk kepada sebuah organisasi politik atau partai, dengan kata lain saya ingin menjadi politisi. Dan, tercapai apa yang menjadi keinginan, dengan sangat mudah oleh seorang paman dimasukan saya ke dalam struktur kepengurusan. Mungkin, hingga hari ini nama Addarori ada di struktur itu. Tanpa babibu apalagi dengan banyak trik dan intrik, posisi dapat tempat ‘terhormat’.

Berbagai persoalan, mengantarkan diri ke Provinsi yang banyak gajahnya, Lampung. Di sebuah Kota kecil Metro, mulailah kehidupan baru, dengan banyak orang baru. Perkenalan dengan orang-orang disini dimulai dari bang Desta, bang Oki, rahmat, bang Ade dan yang lain. Ada keyakinan, saya akan membuat perubahan atas diri sendiri agar lebih baik disini.

Dengan kehidupan baru, Aksi Massa tetap menjadi pegangan. Tetapi, hal itu tidak mudah untuk diterapkan. Banyak persoalan yang  menjadi hambatan, seperti, kehidupan kampus yang mempertemukan dengan beberapa Dosen yang bersikap laiknya Dewa atas pembenaran dari sikapnya. Teman-teman mahasiswa yang apatis dan menjadi takut untuk kritis atas keadaan, apalagi yang berkenaan dengan keadaan mereka sendiri di Kampus, karena berkaitan denga Nilai, serta persoalan-persoalan lain. Belum lagi, lidah madura yang tidak terbiasa dengan makanan pedas, menambah kesulitan saya dalam beradaptasi.

Tiga teman baru yang bergaul laiknya saudara, dan ketiganya perempuan. Ulfa, Diah dan Wilia ini saya ajak untuk belajar bersama. Membaca dan diskusi, atau juga sekedar seru-seruan, menjadi kegiatan sehari-hari ketika satu kelas. Harapan suatu saat mereka menjadi teman atau lawan diskusi selalu disematkan padanya.

Disini, cita-cita kecil itu mulai tumbuh kembali. Ada keinginan untuk menjadi praktisi pendidikan di kampus, atau Dosen. Apa gerangan yang menumbuhkan kembali? Dari beberapa literasi, dan beberapa pengalaman, saya percaya bahwa pendidik adalah pekerjaan mulia, dan kampus merupakan ‘corong’ dari sebuah Ideologi. Lalu, pendidik di lingkungan kampus, tidak harus meninggalkan politik. Tak jarang, politisi yang lahir dari ‘rahim’ ini, lebih bermartabat dari pada yang terlahir dari ‘jalanan’. Sebut saja salah satunya adalah Prof. Mahfud MD, yang hinggga hari ini saya anggap salah satu tokoh paling independen, dan mau berbicara sesuai keyakinan yang beliau anggap benar

Pengertian akan Tri Darma Perguruan Tinggi melengkapi kepercayaan akan keinginan ini. Hemat saya, idealnya kampus benar-benar menjadi Agen perubahan, sosial, dan kontrol akan sebuah keadaan. Itu juga yang sering disampaikan kepada teman-teman tadi. Sehingga, mereka tidak alergi untuk menjadi kritis juga dikritisi.

Dari itu semua, entah mengapa, cita-cita kecil sebagai pendidik itu sangat dekat. Apalagi, sebelum pindah kesini Tuhan sudah mempertemukan dengan idola kecil saya dulu. Sebelumnya, dengan beliau sudah berteman di media sosial facebook. Tidak usah ditanya, bagaimana perasaan waktu bertemu saat itu, atau ketika di pemberitahuan tertulis bahwa beliau membaca status saya.

Tuhan maha punya banyak cara untuk membolak-balikan hati dan pikiran. Mungkin, perjalanan yang sudah jauh ini, diingatkan bahwa selama ini bukan jalan yang harus saya lalui. Persoalan cita-cita itu tercapai atau tidak itu belakangan. Yang terpenting, bahwa proses atau perjalanan selama ini membuat hikmah yang luar biasa, itu sebuah keniscayaan. Sehingga, ada sikap kehati-hatian untuk melangkahkan kaki kedepan. Dan tidak lupa, untuk menjadi pendidik yang baik, maka harus mencari Ilmu sebanyak mungkin. Minimal, ilmu itu untuk mendidik diri sendiri agar terbebas dari kebodohan-kebodohan yang mengikat. Bismillah.

Metro 30/11/2017
01.05 Wib

Rabu, 08 November 2017

Menjaga Masjid Menjaga Masyarakat Dari Radikalisme


Akhir-akhir ini, 'perang' antara mereka yang mengaku paling Islam dan mereka yang mengaku paling Indonesia terus semakin mengkhawatirkan. Merasa paling Islam dan paling Indonesia, sama-sama sikap yang sebenarnya perlu Introspeksi kembali. Saya akan menulis kritikan pada diri saya sendiri karena kegagalan dalam bersikap menghadapi kelompok yang merasa paling Islam.

Begini, saya meyakini benar, bahwa fenomena ustaz berceramah keagamaan akhir-akhir ini mengarah pada gerakan yang kita beri merk 'radikalisme', dan saya mengamini kalau kegiatan ini mengkhawatirkan. (Kenapa radikalisme saya beri tanda kutip? Silakan kalian cari literatur sendiri tetang apa itu radikalisme, salah satunya tulisan K, Muhammad Mushthafa yang pernah diterbitkan di Kompas. cari di Blognya rindupulang.blogspot.com).

Beberapa bulan saya hidup didaerah yang fenomena seperti diatas tumbuh subur. Semasa saya di Madura, Organisasi HTI bisa dibilang 'hanya' sekian persen, dan selebihnya NU, Muhammadiyah, SI. Disini, kader HTI itu banyak, apalagi organisasi kampus yang mempuyai pemahaman yang mirip (Saya belum berani menyebut nama karena masih dalam tahap pengamatan yang belum selesai, tetapi pembaca mungkin tahu yang saya maksud). Belum lagi, (Mohon maaf) Kader NU yang pahamnya mirip seperti mereka itu banyak juga disini.

Saya mencoba amati, dan memberikan sedikit 'ring' untuk apa yang saya amati. Kegiatan mereka yang disebut dakwah dilakukan dengan cara yang cukup sederhana. Mereka mau menghidupkan masjid dengan mau secara cuma-cuma menjadi muadzin, disaat orang yang pernah nyantri seperti saya ini enggan untuk sholat. Bahkan, untuk adzanpun, harus ada bayaran. Mau bukti? Silahkan ke Masjid Jamik yang ada dikota-kota kalian.

Selain itu, mereka mau tampil menjadi Imam Salat disaat Imam ‘asli’nya berhalangan. Bahkan tak tanggung-tanggung, mereka mau mengisi pengajian meski kita menilai mereka ilmunya pas-pasan. Sementara saya yang merasa pernah nyantri, mengaku dekat dengan Ulama', merasa lebih pintar dalam beragama ketimbang mereka, justru menganggap hal itu kacangan dan bukan level kita. Boro-boro menghidupkan masjid, kalau mood-nya lagi bagus, paling ya jum'atan, kalau enggak, ya tidur di kamar masing-masing.
Percaya atau tidak, mereka bahkan mengadakan diskusi di masjid, sementara kita yang merasa paling Islam malah memilih alam terbuka hingga ke cafe-cafe untuk berdiskusi. Dan perilaku begini, sudah dikritik oleh seorang sahabat Ongky Arista Ujang Arisandi dalam tulisannya beberapa waktu yang lalu. Semakin ngeri lagi, mereka juga sering membuat pameran literasi diteras masjid hingga amperan kampus. Saya? orang yang bolak-balik baca buku "Aksi Massa" tulisan Tan Malaka, tidak bisa menangkap apa itu dasar gerakan, yakni "Cerdaskan dulu masyarakat (Massa), maka mereka akan bergerak sendiri".

Kesalahan orang seperti saya adalah, saya terlalu sibuk mencari literasi dari buku saku hingga 10 kitab utama tafsir yang paling kuat (Kalau saya gak paham tafsir), lalu mendebat di medsos atau di dunia nyata kalau mereka itu salah. Sementara, untuk 'bersaing' merebut peran mereka yang justru lebih bersentuhan langsung dengan masyarakat, enggan. Saya mungkin lupa, dulu Baghdad menjadi kota 1001 malam karena masjid tidak hanya menjadi alarm salat, tapi fungsinya tempat untuk berdakwah, berdiskusi, bahkan perpustakaan. Teringat cerita K. Ahmad Madzkur Awab beberapa waktu lalu, pengalaman sekolah di Mekkah, justru katanya banyak guru besar mengajar.di Masjidil Haram. Seharusnya ini menjadi pelajaran bagi saya dalam menerapkan konsep Aksi Massa.

Belum lagi, pembawaan mereka yang begitu kalem, membuat mereka lebih bisa diterima oleh massa, dari pada saya yang selalu sok tau dan menyalah-nyalahkan mereka. Hebatnya, ketika memamerkan koleksi pustaka mereka, koleksi mereka mulai dari buku Nasionalisme, Sosialisme, hingga Liberalisme lengkap. Buku Agama? Jangan ditanya lagi, dan dengan entengnya mereka akan bicara "baca buku ini, lalu bandingkan dengan buku ini (Literatur mereka yang asli)", menurut kalian, mana yang paling benar? Sedangkan mereka, serius, jamak yang bicara begini malah tidak paham Fiqh dasar tentang perbedaan antara Suci dan Bersih, Najis dan Kotor. Hebat, kan?

Banyak yang menjadi pengikut mereka dari Lulusan SMA yang jelas-jelas banyak minim dasar ke-agama-annya ketimbang alumni pondok. Penampilan yang serba tertutup, dengan mudahnya mereka mendoktrin kader-kader baru. Tidak usah njlimet, cukup bilang ini haram, ini halal, menyikapi ini sabar, tawakkal dsb, anak-anak yang masih hangat-hangatnya menjadi mahasiswa akan ikut dengan mereka. Satu lagi, mereka berjanji akan 'memberi' surga!!.

Sedikit saya punya pengalaman, kenal dengan seorang mahasiswi awalnya dia berpenampilan biasa saja, bahkan cenderung 'mengumbar' aurat. Selama 3 bulan, sekarang anak itu sudah berubah menjadi perempuan yang bercadar, dengan pakaian yang membahayakan kalau pakai motor manual, karena bisa nyangkut di Gir. Setelah saya tanya, apakah keluarganya tidak merasa aneh atau mungkin bahkan keberatan? dia menjawab "Tidak.! Justru keluargaku yang latar belakangnya lulusan SMP, mereka senang dengan perubahanku. Aku juga mengajarkan mereka untuk Belajar Islam yang benar. Adikku juga sudah mulai merubah penampilan, dan bapakku juga. Apalagi, aku juga makin aktif ke Musala atau Masjid." Mendengar jawaban ini, hati saya langsung njleb, kayak disiram air panas.

Artinya apa? Sementara mereka yang kita anggap salah, terus menggunakan pola-pola dakwah ke tempat-tempat yang saya sendiri menjauhi. Alasan mereka sederhana sekali, selain bersentuhan dengan masyarakat langsung, masjid adalah tempat yang paling murah untuk melakukan kegiatan, karena gratis. Syukur-syukur kalau ngadain kegiatan malah masyarakat membantu mereka dengan memberi makanan atau kebutuhan-kebutuhan mereka. Sementara saya sibuk mencari tempat mewah dengan dana dari Proposal sana-sini. Sekedar mengingat, bukankah Barrack Obama juga membuat masyarakat 'Sadar' Politik dan membuat mereka butuh kepada sosok Obama, sehingga mereka banyak yang menyisihkan uangnya untuk kepentingan Obama nyalon presiden?

Kesimpulannya, seharusnya saya melawan 'musuh' itu sesuai dengan apa yang musuh kita lakukan. Gerakan lawan dengan gerakan yang sama. Kalau musuh kita sedang menyandera masyarakat banyak, lalu kita memborbardir dengan bom atom, ya nasibnya akan sama dengan Hiroshima dan Nagasaki. Masyarakat akan mati semua, bukan terselamatkan. Kalau gerakan dakwah mereka yang demikian justru dibalas dengan kecaman hingga caci maki, percayalah, kepercayaan mereka pada saya akan terus berkurang dan habis.

Setelah itu, saya mencoba meneguhkan hati, oke!, saya kembali ke Masjid. Saya akan menemani anak-anak kecil mengaji, bercerita tentang Rasulullah yang ringan-ringan dan juga kisah para Faounding father. Karena, tujuan saya mencari ilmu adalah untuk terus menyalurkan ilmu yang saya dapatkan lalu terus mengalirkan ilmu itu dengan baik dan tepat. Kembali ke Masjid, kembali ke masyarakat.

Setelah perenungan ini, saya menjadi sadar apa yang menjadi cerita mas Saiful Sayyidan saat dulu di Presidium GMNI, lalu ditanya oleh Almarhum senior Bapak Taufiq Kiemas. "Syaiful, kamu setelah ini (Di GMNI) mau jadi apa?", mas Syaiful menjawab "Saya mau kembali ke Kampung dan menjadi tukang azan di Musala atau Masjid."

Menjaga masjid dengan menghidupkannya, berarti menjaga ajarannya dari ajaran yang salah. Menjaga masjid, berarti menjaga masyarakat dari ajaran radikal. Konon di Bogor, tempat pertumbuhan paham radikal paling banyak itu di masjid.

Kalau orang yang sudah pernah nyantri dan alim, apalagi sudah dekat dengan Kiai seperti K. Hazmi Latee K. M Faizi ini enggan kembali ke masjid, pantaskah gerakan mereka yang kita anggap salah itu disalahkan? Kata Tan Malaka, "Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali."

Saya sedikit mau meniru Tan, "Jika seorang santri yang sudah alim ilmu agama sudah merasa terlalu tinggi untuk kembali ke masjid atau musala, maka lebih baik ilmu agama itu tidak diberikan sama sekali."

Wallahua'lam.

NB : Bagi kalian yang merasa mayoritas dan merasa paling benar di Jawa, lalu seenaknya mengata-ngatai Ustaz kaum minoritas yang kalian anggap salah, ingat kalian punya saudara di beberapa tempat diluar yang menjadi minoritas, dan diperlakukan sama oleh mereka yang menurut kalian minoritas. Jika di tempat kalian, kalian itu mayoritas, di tempat lain saudara kalian itu minoritas.