Penulis
: Tan Malaka
Tan malaka menulis brosur Naar de
Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia) salam bahasa belanda di
Canton pada 1924. Naskah ini kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Ratusan jilid buku tersebut dioselundupkan keHindia Belanda dan diterima oleh
para tokoh pergerakan, termasuk soekarno.
Buku itu membuktikan bahwa Tan
Malaka adalah pencetus gagasan Indonesia merdeka jauh sebelum Proklamasi 17
Agustus 1945. Dengan buku Naar de
Republik Indonesia maka untuk pertamakalinya konsep “Republik Indonesia”
dicanangkan, muncul Sembilan tahun jauh sebelum Soekarno menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933), dan
sebelum Moh. Hatta menulis Indonesia
Vriji (1928).
Lewat Risalah ini dia sudah
membentangkan betapa pentingnya persatuan dan betapa berbahayanya perpecahan. “Ini
harus dicegah. Akan tetapi tidak hanya dengan cara memberikan hotbah tentang
hikmah – hikmah yang kosong. Hanya satu program yang benar – benar ingin
memajukan kepentingan program materil dari seluruh rakyat dan dilaksanakan
secara jujur, yang dapat membentuk solidaritas nasional, suatu solidaritas yang
tidak hanya menggulingkan imperialisme, tetapi juga dapat menjatuhkan segala
gangguan untuk selama – lamanya.”
Tan Malaka bahkan mencanangkan
kemerdekaan Indonesia dan dibentuk Negara Republik Indonesia. Dia juga
memperkirakan kemungkinan terjadinya perang pasifik yang tentu saja
mengakibatkan kelemahan dipihak jepang dan Indonesia bias lepas dari Jepang. Sejak
menulis Naar de Republik Indonesia, Tan
tegas mengatakan bahwa eks Hindia Belanda harus menjadi Republik Indonesia. Namun
republik dalam gagaasannya tak menganut trias politika ala Montesquieu. Republic
versi Tan Malaka adalah sebuah Negara efisien dan dikelola oleh sebuah
organisasi. Dia memang tak percaya pada parlemen.
Bagi Tan Malaka, pembagian kekuasaan
yang terdiri dari atas eksekutif, legislatif, dan parlemen hanya akan
menghasilkan kerusakan. Pemisah antara orang yang membuat undang – undang dan
menjalankan aturan menimbulkan kesenjangan antara aturan dan realitas. Pelaksa di
lapangan (Eksekutif) adalah pihak yang langsung berhadapan dengan persoalan
yang sesungguhnya. Eksekutif selalu dibuat sepot menjalankan tugas ketika
aturan dibuat oleh orang-orang yang hanya melihat persoalan dari jauh
(Parlemen).
Demokrasi dengan sistem parlemen
melakukan ritual pemilihan sekali dalam empat, lima, atau enam tahun. Dalam kurun
waktu demikian lama, mereka sudah menjelma menjadi kelompok sendiri yang
berpisah dari masyarakat. Sedangkan kebutuhan dan pikiran rakyat berubah – ubah.
Karena para anggota parlemen itu tak bercampur-baur lagi dengan masyarakat,
seharusnya tak berhjak lagi disebut dengan wakil rakyat. Konsekuensinya adalah
parlemen memiliki kemungkinan sangat besar menghasilkan kebijakan yang hanya
menguntungkan golongan yang memliki modal, jauh dari kepentingan mesyarakat
yang mereka wakili.
Menurut Tan Malaka, parlemen, dengan
sendirinya akan tergoda untuk berselingkuh dengan eksekutif, perusahan, dan
perbankan. Akhirnya, parlemen di mata Tan Malaka tak lebih dari sekedar tempat
orang-orang adu kuat mengobrol. Mereka adalah para jago berbicara dan berbual,
bahkan kalau perlu sampai urat leher menonjol keluar.
Tan Malaka menyebut anggota parlemen
sebagai golongan tak berguna yang harus diongsi Negara dengan biaya tinggi. Singkatnya,
keberadaan parlemen dalam buku yang diimpikan Tan tak boleh ada. Buku Soviet atau Parlemen dengan tegas
memperlihatkan pendirian Tan. Sampai usia kematangan berfikirnya. Tan tak
banyak berubah, kecuali dalam soal ketundukan kepada komintern Moskow. Karena pendiriannya
ini pula dia sangat keras menentang Maklumat Wakil Presiden Nomer X pada 1945
tentang pendirian Partai – partai karena Partai – partai pasti bermuara ke
parlemen.
Sederhanya, Negara dalam mimpi Tan
Malaka dikelola oleh sebuah organisasi tunggal. Dalam tubuh organisasi itulah
terbagi kewenangan sebagai pelaksana, sebagai pemeriksa, atau penawas, dan
sebagai peradilan.