Pages

Rabu, 08 November 2017

Menjaga Masjid Menjaga Masyarakat Dari Radikalisme


Akhir-akhir ini, 'perang' antara mereka yang mengaku paling Islam dan mereka yang mengaku paling Indonesia terus semakin mengkhawatirkan. Merasa paling Islam dan paling Indonesia, sama-sama sikap yang sebenarnya perlu Introspeksi kembali. Saya akan menulis kritikan pada diri saya sendiri karena kegagalan dalam bersikap menghadapi kelompok yang merasa paling Islam.

Begini, saya meyakini benar, bahwa fenomena ustaz berceramah keagamaan akhir-akhir ini mengarah pada gerakan yang kita beri merk 'radikalisme', dan saya mengamini kalau kegiatan ini mengkhawatirkan. (Kenapa radikalisme saya beri tanda kutip? Silakan kalian cari literatur sendiri tetang apa itu radikalisme, salah satunya tulisan K, Muhammad Mushthafa yang pernah diterbitkan di Kompas. cari di Blognya rindupulang.blogspot.com).

Beberapa bulan saya hidup didaerah yang fenomena seperti diatas tumbuh subur. Semasa saya di Madura, Organisasi HTI bisa dibilang 'hanya' sekian persen, dan selebihnya NU, Muhammadiyah, SI. Disini, kader HTI itu banyak, apalagi organisasi kampus yang mempuyai pemahaman yang mirip (Saya belum berani menyebut nama karena masih dalam tahap pengamatan yang belum selesai, tetapi pembaca mungkin tahu yang saya maksud). Belum lagi, (Mohon maaf) Kader NU yang pahamnya mirip seperti mereka itu banyak juga disini.

Saya mencoba amati, dan memberikan sedikit 'ring' untuk apa yang saya amati. Kegiatan mereka yang disebut dakwah dilakukan dengan cara yang cukup sederhana. Mereka mau menghidupkan masjid dengan mau secara cuma-cuma menjadi muadzin, disaat orang yang pernah nyantri seperti saya ini enggan untuk sholat. Bahkan, untuk adzanpun, harus ada bayaran. Mau bukti? Silahkan ke Masjid Jamik yang ada dikota-kota kalian.

Selain itu, mereka mau tampil menjadi Imam Salat disaat Imam ‘asli’nya berhalangan. Bahkan tak tanggung-tanggung, mereka mau mengisi pengajian meski kita menilai mereka ilmunya pas-pasan. Sementara saya yang merasa pernah nyantri, mengaku dekat dengan Ulama', merasa lebih pintar dalam beragama ketimbang mereka, justru menganggap hal itu kacangan dan bukan level kita. Boro-boro menghidupkan masjid, kalau mood-nya lagi bagus, paling ya jum'atan, kalau enggak, ya tidur di kamar masing-masing.
Percaya atau tidak, mereka bahkan mengadakan diskusi di masjid, sementara kita yang merasa paling Islam malah memilih alam terbuka hingga ke cafe-cafe untuk berdiskusi. Dan perilaku begini, sudah dikritik oleh seorang sahabat Ongky Arista Ujang Arisandi dalam tulisannya beberapa waktu yang lalu. Semakin ngeri lagi, mereka juga sering membuat pameran literasi diteras masjid hingga amperan kampus. Saya? orang yang bolak-balik baca buku "Aksi Massa" tulisan Tan Malaka, tidak bisa menangkap apa itu dasar gerakan, yakni "Cerdaskan dulu masyarakat (Massa), maka mereka akan bergerak sendiri".

Kesalahan orang seperti saya adalah, saya terlalu sibuk mencari literasi dari buku saku hingga 10 kitab utama tafsir yang paling kuat (Kalau saya gak paham tafsir), lalu mendebat di medsos atau di dunia nyata kalau mereka itu salah. Sementara, untuk 'bersaing' merebut peran mereka yang justru lebih bersentuhan langsung dengan masyarakat, enggan. Saya mungkin lupa, dulu Baghdad menjadi kota 1001 malam karena masjid tidak hanya menjadi alarm salat, tapi fungsinya tempat untuk berdakwah, berdiskusi, bahkan perpustakaan. Teringat cerita K. Ahmad Madzkur Awab beberapa waktu lalu, pengalaman sekolah di Mekkah, justru katanya banyak guru besar mengajar.di Masjidil Haram. Seharusnya ini menjadi pelajaran bagi saya dalam menerapkan konsep Aksi Massa.

Belum lagi, pembawaan mereka yang begitu kalem, membuat mereka lebih bisa diterima oleh massa, dari pada saya yang selalu sok tau dan menyalah-nyalahkan mereka. Hebatnya, ketika memamerkan koleksi pustaka mereka, koleksi mereka mulai dari buku Nasionalisme, Sosialisme, hingga Liberalisme lengkap. Buku Agama? Jangan ditanya lagi, dan dengan entengnya mereka akan bicara "baca buku ini, lalu bandingkan dengan buku ini (Literatur mereka yang asli)", menurut kalian, mana yang paling benar? Sedangkan mereka, serius, jamak yang bicara begini malah tidak paham Fiqh dasar tentang perbedaan antara Suci dan Bersih, Najis dan Kotor. Hebat, kan?

Banyak yang menjadi pengikut mereka dari Lulusan SMA yang jelas-jelas banyak minim dasar ke-agama-annya ketimbang alumni pondok. Penampilan yang serba tertutup, dengan mudahnya mereka mendoktrin kader-kader baru. Tidak usah njlimet, cukup bilang ini haram, ini halal, menyikapi ini sabar, tawakkal dsb, anak-anak yang masih hangat-hangatnya menjadi mahasiswa akan ikut dengan mereka. Satu lagi, mereka berjanji akan 'memberi' surga!!.

Sedikit saya punya pengalaman, kenal dengan seorang mahasiswi awalnya dia berpenampilan biasa saja, bahkan cenderung 'mengumbar' aurat. Selama 3 bulan, sekarang anak itu sudah berubah menjadi perempuan yang bercadar, dengan pakaian yang membahayakan kalau pakai motor manual, karena bisa nyangkut di Gir. Setelah saya tanya, apakah keluarganya tidak merasa aneh atau mungkin bahkan keberatan? dia menjawab "Tidak.! Justru keluargaku yang latar belakangnya lulusan SMP, mereka senang dengan perubahanku. Aku juga mengajarkan mereka untuk Belajar Islam yang benar. Adikku juga sudah mulai merubah penampilan, dan bapakku juga. Apalagi, aku juga makin aktif ke Musala atau Masjid." Mendengar jawaban ini, hati saya langsung njleb, kayak disiram air panas.

Artinya apa? Sementara mereka yang kita anggap salah, terus menggunakan pola-pola dakwah ke tempat-tempat yang saya sendiri menjauhi. Alasan mereka sederhana sekali, selain bersentuhan dengan masyarakat langsung, masjid adalah tempat yang paling murah untuk melakukan kegiatan, karena gratis. Syukur-syukur kalau ngadain kegiatan malah masyarakat membantu mereka dengan memberi makanan atau kebutuhan-kebutuhan mereka. Sementara saya sibuk mencari tempat mewah dengan dana dari Proposal sana-sini. Sekedar mengingat, bukankah Barrack Obama juga membuat masyarakat 'Sadar' Politik dan membuat mereka butuh kepada sosok Obama, sehingga mereka banyak yang menyisihkan uangnya untuk kepentingan Obama nyalon presiden?

Kesimpulannya, seharusnya saya melawan 'musuh' itu sesuai dengan apa yang musuh kita lakukan. Gerakan lawan dengan gerakan yang sama. Kalau musuh kita sedang menyandera masyarakat banyak, lalu kita memborbardir dengan bom atom, ya nasibnya akan sama dengan Hiroshima dan Nagasaki. Masyarakat akan mati semua, bukan terselamatkan. Kalau gerakan dakwah mereka yang demikian justru dibalas dengan kecaman hingga caci maki, percayalah, kepercayaan mereka pada saya akan terus berkurang dan habis.

Setelah itu, saya mencoba meneguhkan hati, oke!, saya kembali ke Masjid. Saya akan menemani anak-anak kecil mengaji, bercerita tentang Rasulullah yang ringan-ringan dan juga kisah para Faounding father. Karena, tujuan saya mencari ilmu adalah untuk terus menyalurkan ilmu yang saya dapatkan lalu terus mengalirkan ilmu itu dengan baik dan tepat. Kembali ke Masjid, kembali ke masyarakat.

Setelah perenungan ini, saya menjadi sadar apa yang menjadi cerita mas Saiful Sayyidan saat dulu di Presidium GMNI, lalu ditanya oleh Almarhum senior Bapak Taufiq Kiemas. "Syaiful, kamu setelah ini (Di GMNI) mau jadi apa?", mas Syaiful menjawab "Saya mau kembali ke Kampung dan menjadi tukang azan di Musala atau Masjid."

Menjaga masjid dengan menghidupkannya, berarti menjaga ajarannya dari ajaran yang salah. Menjaga masjid, berarti menjaga masyarakat dari ajaran radikal. Konon di Bogor, tempat pertumbuhan paham radikal paling banyak itu di masjid.

Kalau orang yang sudah pernah nyantri dan alim, apalagi sudah dekat dengan Kiai seperti K. Hazmi Latee K. M Faizi ini enggan kembali ke masjid, pantaskah gerakan mereka yang kita anggap salah itu disalahkan? Kata Tan Malaka, "Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali."

Saya sedikit mau meniru Tan, "Jika seorang santri yang sudah alim ilmu agama sudah merasa terlalu tinggi untuk kembali ke masjid atau musala, maka lebih baik ilmu agama itu tidak diberikan sama sekali."

Wallahua'lam.

NB : Bagi kalian yang merasa mayoritas dan merasa paling benar di Jawa, lalu seenaknya mengata-ngatai Ustaz kaum minoritas yang kalian anggap salah, ingat kalian punya saudara di beberapa tempat diluar yang menjadi minoritas, dan diperlakukan sama oleh mereka yang menurut kalian minoritas. Jika di tempat kalian, kalian itu mayoritas, di tempat lain saudara kalian itu minoritas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar