Pages

Rabu, 29 November 2017

Sekelumit Cerita Kehidupan Pribadi

Gak nyambu
Dulu, waktu kecil ketika abah sama umi bertanya suatu saat mau jadi apa, saya selalu menjawab, saya ingin menjadi Dosen terbang seperti Kiai A'la (Pengasuh Annuqayah Latee sekarang). Padahal, saya tidak pernah tahu siapa atau lebih tepatnya tidak bernah bertatap muka dengan Prof. K. A'la. Hanya sekedar diceritakan oleh orang tua bahwa beliau itu orang hebat.  Tak ada angan-angan untuk menjadi seseorang yang 'dekat' dengan politik, apalagi ikut-ikutan berpolitik.

Masa kecilku telah berlalu, lanjut pada masa kenakalan remaja, hingga masuk perguruan tinggi. Sejak itu pula, cita-cita kecilku mulai terlupakan. Impian saya mulai tidak terkonsep. Masa-masa MTS hingga SMA, mulai terbawa arus. Bahkan, pasca lulus SMA, dan hendak masuk kuliah, saya masih ikut arus. Akhirnya, kecelakaan terjadi, masuk jurusan perbankan syariah.

Kenapa dianggap kecelakaan? Karena sepertinya, lebih cocok apabila saya masuk ke Fakultas Hukum atau juga Sosial. Tapi saya tidak menyesal dengan semua pilihan saya hingga hari ini. Sebab, ada keyakinan bahwa, antara hukum, politik, ekonomi, sosial, pendidikan dst itu mempunya satu hubungan membentuk satu kesatuan yang tak terpisahkan. Itu yang saya pelajari dari seorang paman bernama Muhammad Affan, yang diambil dari teori Tao.

Lanjut masa study saya di perguruan tinggi, mengenal banyak teman baru. Pada akhirnya mengenal sebuah organisasi kemahasiwaan yang sampai saat ini 'diimani'. Dari situ, saya mulai menyadari apa tujuan pendidikan. 2012 yang lalu, masa awal kuliah mulai 'kenal' dengan tokoh-tokoh besar. Meski sekedar membaca, saya pernah mencicipi buku Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Syahrir, Marx, Lenin, Paolo Freire untuk berbicara konsep perjuangan.

Urusan Agama, saya bukan orang yang alim, akan tetapi, terlahir dari keluarga pesantren tentunya sudah mendapat bimbingan dari sejak lahir. Siksa neraka yang mengerikan, tuntunan salat, cerita kenabian, hingga pelajaran yang mungkin anak SMA belum pernah merasakan, saya mencicipi. Dan semua tidak lantas harus membuat saya puas, karena berkumpul dengan para guru, sekaligus paman, mbah dan saudara-saudara yang sudah ‘alim’, tentunya dengan sangat sadar diri mengatakan, saya hanya butiran debu di gurun pasir.

Ada sebuah kenangan yang sampai saat ini mungkin ‘berjodoh’ dengan kehidupan kaum ‘merah’ atau nasionalis. Suatu ketika mau berangkat mondok ke Pesantren Banyuanyar, Kabupaten Pamekasan, saya ‘mencuri’ buku abah berjudul “Obor Kebangkitan Rakyat” sayang saya lupa penulisnya. Buku yang kata abah ini pemberian dari paman Abdus Salam Syah (Dulu DPRD) ini menceritakan tentang perjalanan Sarikat Islam. Dalam buku itu juga disinggung mengenai perpecahan di internal SI, antara kelompok Hos. Cokroaminoto yang dikenal dengan SI Putih dengan kelompok Samaon atau yang dikenal dengan SI Merah pun juga dikenal SI Semarang.

Dari situ, saya bahkan menyebut seorang Samaon serta tokoh-tokoh SI Merah itu “Kiai”, hingga hari ini masih sering menggunakan panggilan itu. Kemudian, baru tahu bahwa SI Merah berubah bentuk menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Diam – diam, sebelumnya ada ketertarikan dengan seorang Samaon, sebab, beliau menjadi salah satu orang yang sudah bisa memimpin pergerakan diusia yang sangat muda, belasan tahun.

Abah yang Alumni Banyuanyar, masih sangat SI hingga sekarang. Bahkan, beliau selalu berkata sama anak-anaknya, karena doktrin dari seorang guru, selama masih ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP), beliau akan tetap menjadi pemilih partai berlambang Ka’bah tersebut. Makanya, kalau anak – anak abah suatu saat mau mencalonkan diri di Legislatif atau juga Kepala, dari Kabupaten hingga Negara agar beliau memilih, maka masuklah ke PPP.

Nah, lagi – lagi sayang, buku itu hilang setelah saya mondok di Al – Kautsar. Padahal, buku itu adalah buku ‘berat’ pertama untuk anak MTS hingga SMA waktu itu selesai dibaca.
SMA sederajat, saya menghabiskan 3 Lembaga Pendidikan. Pertama Al-Kautsar, lalu ke SMA Al-Azhar (Di dekat rumah, bukan kairo atau yang Jakarta sekolahnya Afgan), terakhir di SMK Mambaul Ulum Guluk-guluk. Akhir waktu SMA, takdir mempertemukan diri saya dengan paman dari pesantren Annuqayah, namanya Muhammad Affan. Baru setelah itu dengan keluarga besar pesantren yang lain. Sampai hari ini, panggilan “Paman” diganti dengan “Oppa”. Entah bagaimana awalnya kenapa harus diganti oppa.

Oppa itu seorang seniman tidak menunjukan ke-seniman-nya kepada khalayak. Beliau saudara penyair, penulis ‘keren’ Muhammad Faizi. Dari oppa lah perkenalan dengan dunia Tao, Rumi, hingga Nabi Muhammad SAW dari sisi yang sebelumnya belum diketahui. Salah satu kesan yang paling istimewa, adalah saat dimana saya dikenalkan kepada seorang Martin Lings, penulis buku “Muhammad” yang mencerahkan. Pelan-pelan beliau mengajarkan sejarah, dan ilmu yang nyerempet pada persoalan Agama dan Toleransi.

Tulisan Martin Lings saya pinjam hingga satu bulan lebih. Saya rela berbohong dengan makna yang sebenarnya agar bisa mengulang-ulang baca buku itu. Buku catatan mahasiswa Eropa yang didalamnya ada tulisan paman Muhammad Musthafa pun tidak terselesaikan hingga hari ini. Sebab, ada banyak sisi yang baru diketahui tentang Junjungan Islam, Nabi Muhammad. Oia, sekarang kita masuk bulan Maulid, boleh kita baca selawat dulu, Allahumma’ shalli ‘ala Muhammad. Tahun 2012 pinjam, 2017 buku Martin Lings sudah ada dibarisan perpustakaan pribadi.

Di Organisasi, literasi yang saya sebutkan sebelumnya membentuk mindset berkarakter nasionalis. Memang, Organisasi yang saya imani ini berpaham Soekarnoisme, atau Nasionalisme, lebih tepatnya Marhaenisme. Kaderisasi di dua kali di tempat yang berbeda, pertama di Pamekasan sendiri, dan kedua di Jember mengajarkan kepada saya untuk dekat dengan kaum ‘Marhaen’.

Buruh, Petani, bukan hal asing dalam pergaulan sehari-hari, apalagi pejabat, politisi dan para ‘pemain’ di tempat yang disebut ‘Parlemen Jalanan’. Disini, Dosen yang menjadi cita-cita kecil benar-benar terlupakan. Ada anggapan, ‘Demo’ dengan atas nama rakyat, apalagi yang benar-benar mendampingi rakyat merupakan pekerjaan yang paling mulia. Dosen, pejabat dan legislatif selalu ada ‘kemungkinan’ untuk salah, atau mungkin memang wajib disalahkan. Terutama, untuk dosen PNS yang juga menjabat di birokrasi kampus.

Ada banyak senior yang mau bersabar mengajarkan banyak ilmu. Beberapa orang yang paling berpengaruh dalam Organisasi, diantaranya, Mas Imam Khairullah, Mas Samhari, Mas Miftahuddin Hasan, dan yang lain yang tak bisa disebutkan satu-satu. Ada juga dari organisasi sebelah pun  tak kalah mempengaruhi pola organisasi saya, yakni mas Firman Syah Ali, Mas Agus Sudjarwadi dan yang lain.

Banyak pengalaman yang terlewati. Melihat banyak orang yang bermuka manis dan berteriak atas kepertingan rakyat, dibelakang melakukan transaksi yang menjijikkan, itu makanan sehari-hari saya. Berbicara kemerdekaan, tapi setiap gerakan mereka, ada yang intervensi. Persatuan, mereka bilang menjadi junjungan, namun ketika potongan kue tidak dibagi rata, kekuatannya dijadikan alat untuk pecah-belah. Ada yang berbicara Agama, tapi tak ada cerminan yang patut dicontoh dari prilakunya. Kehidupan menjadi penuh intrik, dan terbangun prinsip sederhana “Kalau tidak membunuh, maka akan terbunuh”.

Memang tidak semuanya yang menjadi monster. Masih ada sebagian kecil dari mereka yang mempunyai idealisme atau mereka yang tetap Tuhan jaga kepolosannya. Dari pergaulan itu, saya mulai mencari cara dan mendefinisikan sendiri apa itu ‘Perjuangan’. Mundur teratur dari pergaulan adalah cara paling ampuh ketika sudah merasa mau terjerumus lebih jauh. Dan, memilih memperbanyak ruang-ruang diskusi menjadi salah satu pilihan yang paling tepat untuk menerapkan konsep “Aksi Massa”.

Iya Aksi Massa, tulisan Datuk Ibrahim Tan Malaka. Di buku itu tertulis, perjuangan akan berjalan dengan ‘sempurna’ apabila kita mau bersabar mencerdaskan massa, atau rakyat, atau siapapun yang kita jadikan ‘objek’. Apabila massa itu sudah cerdas akan hak dan kewajibannya, mereka bergerak dengan sendirinya. Sehingga, ketika ada yang berbicara “Ini adalah suara rakyat”, ketika ditanya rakyat yang mana, maka, kita tidak akan tertunduk malu dan mencari pembenaran. Bukankah Nabi juga mengajarkan hal yang sama? Sehingga, salah satunya ketika beliau mengajak hijrah ke Madinah, para sahabat dengan sadar akan kebutuhan untuk hijrah tersebut.

Di periode ini, ada keinginan untuk masuk kepada sebuah organisasi politik atau partai, dengan kata lain saya ingin menjadi politisi. Dan, tercapai apa yang menjadi keinginan, dengan sangat mudah oleh seorang paman dimasukan saya ke dalam struktur kepengurusan. Mungkin, hingga hari ini nama Addarori ada di struktur itu. Tanpa babibu apalagi dengan banyak trik dan intrik, posisi dapat tempat ‘terhormat’.

Berbagai persoalan, mengantarkan diri ke Provinsi yang banyak gajahnya, Lampung. Di sebuah Kota kecil Metro, mulailah kehidupan baru, dengan banyak orang baru. Perkenalan dengan orang-orang disini dimulai dari bang Desta, bang Oki, rahmat, bang Ade dan yang lain. Ada keyakinan, saya akan membuat perubahan atas diri sendiri agar lebih baik disini.

Dengan kehidupan baru, Aksi Massa tetap menjadi pegangan. Tetapi, hal itu tidak mudah untuk diterapkan. Banyak persoalan yang  menjadi hambatan, seperti, kehidupan kampus yang mempertemukan dengan beberapa Dosen yang bersikap laiknya Dewa atas pembenaran dari sikapnya. Teman-teman mahasiswa yang apatis dan menjadi takut untuk kritis atas keadaan, apalagi yang berkenaan dengan keadaan mereka sendiri di Kampus, karena berkaitan denga Nilai, serta persoalan-persoalan lain. Belum lagi, lidah madura yang tidak terbiasa dengan makanan pedas, menambah kesulitan saya dalam beradaptasi.

Tiga teman baru yang bergaul laiknya saudara, dan ketiganya perempuan. Ulfa, Diah dan Wilia ini saya ajak untuk belajar bersama. Membaca dan diskusi, atau juga sekedar seru-seruan, menjadi kegiatan sehari-hari ketika satu kelas. Harapan suatu saat mereka menjadi teman atau lawan diskusi selalu disematkan padanya.

Disini, cita-cita kecil itu mulai tumbuh kembali. Ada keinginan untuk menjadi praktisi pendidikan di kampus, atau Dosen. Apa gerangan yang menumbuhkan kembali? Dari beberapa literasi, dan beberapa pengalaman, saya percaya bahwa pendidik adalah pekerjaan mulia, dan kampus merupakan ‘corong’ dari sebuah Ideologi. Lalu, pendidik di lingkungan kampus, tidak harus meninggalkan politik. Tak jarang, politisi yang lahir dari ‘rahim’ ini, lebih bermartabat dari pada yang terlahir dari ‘jalanan’. Sebut saja salah satunya adalah Prof. Mahfud MD, yang hinggga hari ini saya anggap salah satu tokoh paling independen, dan mau berbicara sesuai keyakinan yang beliau anggap benar

Pengertian akan Tri Darma Perguruan Tinggi melengkapi kepercayaan akan keinginan ini. Hemat saya, idealnya kampus benar-benar menjadi Agen perubahan, sosial, dan kontrol akan sebuah keadaan. Itu juga yang sering disampaikan kepada teman-teman tadi. Sehingga, mereka tidak alergi untuk menjadi kritis juga dikritisi.

Dari itu semua, entah mengapa, cita-cita kecil sebagai pendidik itu sangat dekat. Apalagi, sebelum pindah kesini Tuhan sudah mempertemukan dengan idola kecil saya dulu. Sebelumnya, dengan beliau sudah berteman di media sosial facebook. Tidak usah ditanya, bagaimana perasaan waktu bertemu saat itu, atau ketika di pemberitahuan tertulis bahwa beliau membaca status saya.

Tuhan maha punya banyak cara untuk membolak-balikan hati dan pikiran. Mungkin, perjalanan yang sudah jauh ini, diingatkan bahwa selama ini bukan jalan yang harus saya lalui. Persoalan cita-cita itu tercapai atau tidak itu belakangan. Yang terpenting, bahwa proses atau perjalanan selama ini membuat hikmah yang luar biasa, itu sebuah keniscayaan. Sehingga, ada sikap kehati-hatian untuk melangkahkan kaki kedepan. Dan tidak lupa, untuk menjadi pendidik yang baik, maka harus mencari Ilmu sebanyak mungkin. Minimal, ilmu itu untuk mendidik diri sendiri agar terbebas dari kebodohan-kebodohan yang mengikat. Bismillah.

Metro 30/11/2017
01.05 Wib

Rabu, 08 November 2017

Menjaga Masjid Menjaga Masyarakat Dari Radikalisme


Akhir-akhir ini, 'perang' antara mereka yang mengaku paling Islam dan mereka yang mengaku paling Indonesia terus semakin mengkhawatirkan. Merasa paling Islam dan paling Indonesia, sama-sama sikap yang sebenarnya perlu Introspeksi kembali. Saya akan menulis kritikan pada diri saya sendiri karena kegagalan dalam bersikap menghadapi kelompok yang merasa paling Islam.

Begini, saya meyakini benar, bahwa fenomena ustaz berceramah keagamaan akhir-akhir ini mengarah pada gerakan yang kita beri merk 'radikalisme', dan saya mengamini kalau kegiatan ini mengkhawatirkan. (Kenapa radikalisme saya beri tanda kutip? Silakan kalian cari literatur sendiri tetang apa itu radikalisme, salah satunya tulisan K, Muhammad Mushthafa yang pernah diterbitkan di Kompas. cari di Blognya rindupulang.blogspot.com).

Beberapa bulan saya hidup didaerah yang fenomena seperti diatas tumbuh subur. Semasa saya di Madura, Organisasi HTI bisa dibilang 'hanya' sekian persen, dan selebihnya NU, Muhammadiyah, SI. Disini, kader HTI itu banyak, apalagi organisasi kampus yang mempuyai pemahaman yang mirip (Saya belum berani menyebut nama karena masih dalam tahap pengamatan yang belum selesai, tetapi pembaca mungkin tahu yang saya maksud). Belum lagi, (Mohon maaf) Kader NU yang pahamnya mirip seperti mereka itu banyak juga disini.

Saya mencoba amati, dan memberikan sedikit 'ring' untuk apa yang saya amati. Kegiatan mereka yang disebut dakwah dilakukan dengan cara yang cukup sederhana. Mereka mau menghidupkan masjid dengan mau secara cuma-cuma menjadi muadzin, disaat orang yang pernah nyantri seperti saya ini enggan untuk sholat. Bahkan, untuk adzanpun, harus ada bayaran. Mau bukti? Silahkan ke Masjid Jamik yang ada dikota-kota kalian.

Selain itu, mereka mau tampil menjadi Imam Salat disaat Imam ‘asli’nya berhalangan. Bahkan tak tanggung-tanggung, mereka mau mengisi pengajian meski kita menilai mereka ilmunya pas-pasan. Sementara saya yang merasa pernah nyantri, mengaku dekat dengan Ulama', merasa lebih pintar dalam beragama ketimbang mereka, justru menganggap hal itu kacangan dan bukan level kita. Boro-boro menghidupkan masjid, kalau mood-nya lagi bagus, paling ya jum'atan, kalau enggak, ya tidur di kamar masing-masing.
Percaya atau tidak, mereka bahkan mengadakan diskusi di masjid, sementara kita yang merasa paling Islam malah memilih alam terbuka hingga ke cafe-cafe untuk berdiskusi. Dan perilaku begini, sudah dikritik oleh seorang sahabat Ongky Arista Ujang Arisandi dalam tulisannya beberapa waktu yang lalu. Semakin ngeri lagi, mereka juga sering membuat pameran literasi diteras masjid hingga amperan kampus. Saya? orang yang bolak-balik baca buku "Aksi Massa" tulisan Tan Malaka, tidak bisa menangkap apa itu dasar gerakan, yakni "Cerdaskan dulu masyarakat (Massa), maka mereka akan bergerak sendiri".

Kesalahan orang seperti saya adalah, saya terlalu sibuk mencari literasi dari buku saku hingga 10 kitab utama tafsir yang paling kuat (Kalau saya gak paham tafsir), lalu mendebat di medsos atau di dunia nyata kalau mereka itu salah. Sementara, untuk 'bersaing' merebut peran mereka yang justru lebih bersentuhan langsung dengan masyarakat, enggan. Saya mungkin lupa, dulu Baghdad menjadi kota 1001 malam karena masjid tidak hanya menjadi alarm salat, tapi fungsinya tempat untuk berdakwah, berdiskusi, bahkan perpustakaan. Teringat cerita K. Ahmad Madzkur Awab beberapa waktu lalu, pengalaman sekolah di Mekkah, justru katanya banyak guru besar mengajar.di Masjidil Haram. Seharusnya ini menjadi pelajaran bagi saya dalam menerapkan konsep Aksi Massa.

Belum lagi, pembawaan mereka yang begitu kalem, membuat mereka lebih bisa diterima oleh massa, dari pada saya yang selalu sok tau dan menyalah-nyalahkan mereka. Hebatnya, ketika memamerkan koleksi pustaka mereka, koleksi mereka mulai dari buku Nasionalisme, Sosialisme, hingga Liberalisme lengkap. Buku Agama? Jangan ditanya lagi, dan dengan entengnya mereka akan bicara "baca buku ini, lalu bandingkan dengan buku ini (Literatur mereka yang asli)", menurut kalian, mana yang paling benar? Sedangkan mereka, serius, jamak yang bicara begini malah tidak paham Fiqh dasar tentang perbedaan antara Suci dan Bersih, Najis dan Kotor. Hebat, kan?

Banyak yang menjadi pengikut mereka dari Lulusan SMA yang jelas-jelas banyak minim dasar ke-agama-annya ketimbang alumni pondok. Penampilan yang serba tertutup, dengan mudahnya mereka mendoktrin kader-kader baru. Tidak usah njlimet, cukup bilang ini haram, ini halal, menyikapi ini sabar, tawakkal dsb, anak-anak yang masih hangat-hangatnya menjadi mahasiswa akan ikut dengan mereka. Satu lagi, mereka berjanji akan 'memberi' surga!!.

Sedikit saya punya pengalaman, kenal dengan seorang mahasiswi awalnya dia berpenampilan biasa saja, bahkan cenderung 'mengumbar' aurat. Selama 3 bulan, sekarang anak itu sudah berubah menjadi perempuan yang bercadar, dengan pakaian yang membahayakan kalau pakai motor manual, karena bisa nyangkut di Gir. Setelah saya tanya, apakah keluarganya tidak merasa aneh atau mungkin bahkan keberatan? dia menjawab "Tidak.! Justru keluargaku yang latar belakangnya lulusan SMP, mereka senang dengan perubahanku. Aku juga mengajarkan mereka untuk Belajar Islam yang benar. Adikku juga sudah mulai merubah penampilan, dan bapakku juga. Apalagi, aku juga makin aktif ke Musala atau Masjid." Mendengar jawaban ini, hati saya langsung njleb, kayak disiram air panas.

Artinya apa? Sementara mereka yang kita anggap salah, terus menggunakan pola-pola dakwah ke tempat-tempat yang saya sendiri menjauhi. Alasan mereka sederhana sekali, selain bersentuhan dengan masyarakat langsung, masjid adalah tempat yang paling murah untuk melakukan kegiatan, karena gratis. Syukur-syukur kalau ngadain kegiatan malah masyarakat membantu mereka dengan memberi makanan atau kebutuhan-kebutuhan mereka. Sementara saya sibuk mencari tempat mewah dengan dana dari Proposal sana-sini. Sekedar mengingat, bukankah Barrack Obama juga membuat masyarakat 'Sadar' Politik dan membuat mereka butuh kepada sosok Obama, sehingga mereka banyak yang menyisihkan uangnya untuk kepentingan Obama nyalon presiden?

Kesimpulannya, seharusnya saya melawan 'musuh' itu sesuai dengan apa yang musuh kita lakukan. Gerakan lawan dengan gerakan yang sama. Kalau musuh kita sedang menyandera masyarakat banyak, lalu kita memborbardir dengan bom atom, ya nasibnya akan sama dengan Hiroshima dan Nagasaki. Masyarakat akan mati semua, bukan terselamatkan. Kalau gerakan dakwah mereka yang demikian justru dibalas dengan kecaman hingga caci maki, percayalah, kepercayaan mereka pada saya akan terus berkurang dan habis.

Setelah itu, saya mencoba meneguhkan hati, oke!, saya kembali ke Masjid. Saya akan menemani anak-anak kecil mengaji, bercerita tentang Rasulullah yang ringan-ringan dan juga kisah para Faounding father. Karena, tujuan saya mencari ilmu adalah untuk terus menyalurkan ilmu yang saya dapatkan lalu terus mengalirkan ilmu itu dengan baik dan tepat. Kembali ke Masjid, kembali ke masyarakat.

Setelah perenungan ini, saya menjadi sadar apa yang menjadi cerita mas Saiful Sayyidan saat dulu di Presidium GMNI, lalu ditanya oleh Almarhum senior Bapak Taufiq Kiemas. "Syaiful, kamu setelah ini (Di GMNI) mau jadi apa?", mas Syaiful menjawab "Saya mau kembali ke Kampung dan menjadi tukang azan di Musala atau Masjid."

Menjaga masjid dengan menghidupkannya, berarti menjaga ajarannya dari ajaran yang salah. Menjaga masjid, berarti menjaga masyarakat dari ajaran radikal. Konon di Bogor, tempat pertumbuhan paham radikal paling banyak itu di masjid.

Kalau orang yang sudah pernah nyantri dan alim, apalagi sudah dekat dengan Kiai seperti K. Hazmi Latee K. M Faizi ini enggan kembali ke masjid, pantaskah gerakan mereka yang kita anggap salah itu disalahkan? Kata Tan Malaka, "Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali."

Saya sedikit mau meniru Tan, "Jika seorang santri yang sudah alim ilmu agama sudah merasa terlalu tinggi untuk kembali ke masjid atau musala, maka lebih baik ilmu agama itu tidak diberikan sama sekali."

Wallahua'lam.

NB : Bagi kalian yang merasa mayoritas dan merasa paling benar di Jawa, lalu seenaknya mengata-ngatai Ustaz kaum minoritas yang kalian anggap salah, ingat kalian punya saudara di beberapa tempat diluar yang menjadi minoritas, dan diperlakukan sama oleh mereka yang menurut kalian minoritas. Jika di tempat kalian, kalian itu mayoritas, di tempat lain saudara kalian itu minoritas.


Kamis, 12 Oktober 2017

Demokrasi Kita Yang Melebihi Amerika

Foto Diambil dari sumber kpu.go.id
Kita seharusnya Bangga dan tidak boleh ada Istilah 'Meniru Barat' (Baca, Amerika), utamanya tentang demokrasi. Karena, Perempuan dan warga berkulit hitam sebelum Tahun 60an, Tidak mempunyai Hak untuk Demokrasi, yaitu memilih ataupun dipilih. Sedangkan, Indonesia pada Tahun 1955 sudah melakukan sistem Demokrasi yang sesuai dengan Prinsip Demokrasi dan paling damai di Dunia sampai hari ini. Semua Golongan bisa memilih berdasarkan Partai Masing - masing. Pada Tahun tersebut bahkan, kelompok Yahudi mempunyai Partai Di Indonesia, Satanis mempunyai Partai, bahkan di Pamekasan Madura memiliki Partai sendiri sebelum melebur dengan SI lalu ke PPP saat ini.
Dalam catatan saya (Koreksi jika salah) Amerika sampai saat ini belum pernah dipimpin oleh Pemimpin Perempuan. Barrack Obama, Bahkan menjadi satu - satunya pemimpin Negara Berkulit Hitam, dan belum pernah dipimpin oleh tokoh agama. Sedangkan di Indonesia,dari seorang Tokoh kemerdekaan, Militer, Sipil, Cendikiawan, Tokoh Agama, Perempuan pernah memimpin Indonesia. Lebih mengecewakan lagi, justru Pemimpin perempuan justru banyak lahir dari negara yang menganut paham sosialis yang dianggap berlawanan dari Demokrasi.
memang, dalam sejarahnya indonesia tidak pernah melahirkan presiden dari kulit hitam. Akan tetapi, kita bukan amerika. Secara perwakilan dari sabang dan merauke, Wakil pemimpin indonesia sudah pernah diwakili. Kemajemukan Indonesia tidak didasarkan pada warna kulit, akan tetapi dari suku, ras, agama, budaya dan wilayah. Mungkin, kalau presiden hanya Pak Habibi yang bukan orang jawa. tetapi, wakil presiden dari timur hingga barat sudah menjadi pemandangan yang lumrah.
itu hanya wakil presiden saja kan? mungkin akan protes demikian. jadi, bicara Demokrasi kita bicara One Man One Vote. jamak kita ketahui bersama kalau penduduk Jawa adalah daerah yang paling pdat penduduknya. Bahkan, Jawa Timur dan Jawa Barat merupakan barometer politik Indonesia secara jumlah suara. bahkan, Ada Istilah, jika di dua Provinsi ini menang, maka siapapun calonnya Akan menang. Berkaca pada hasil Pemilu 2014 yang lalu, Prabowo menang di Jawa Barat, Dan Jokowi berhasil merebut suara terbanyak di Jawa TImur, ternyata hasilnya pada keseluruhan total suara nasional, presentasinya tidak jauh berbeda.
maksud saya begini, Dengan Jumlah penduduk yang demikian, otomatis Berbicara peluang keterwakilan, maka Wajar kan kalau misalkan Presidennya dari Jawa, dan Wakilnya Non Jawa? belum lagi, kalau kita berbicara dapil perprovinsi di Indonesia yang sudah 'relatif' setara antara porsi jawa dan non jawa. sekali lagi, saya tidak sedang berbicara tentang Primordialisme, akan tetapi, ini tentang bagaimana Konsep Demokrasi, yakni, satu orang satu suara. sedangkan, dijawa bukan berarti tidak ada orang non jawa, seperti halnya diluar jawa bukan berarti tidak ada orang jawa.
Di Amerika, dengan konsep dua partai, yang mana, Hanya ada Republik dan Demokrat, justru menerapkan konsep yang cukup aneh. kalau hanya menang suara, sementara secara tingkat pemerataan suaranya kalah, justru sang calon presiden akan tumbang. contoh, Hilary Clinton yang menang suara tapi kalah 'Popularitas' atau Pemerataan suaranya kalah dengan Trump. Hilary secara keseluruhan menang, tapi dibeberapa daerah, suaranya tidak merata, maka hilary pun dinyatakan kalah (Sekali lagi, kalau ini salah mohon dikoreksi). artinya apa, Satu suara satu orang menjadi hilang dalam konsep ini. ini yang membedakan Demokrasi kita lebih berjalan dinamis.
Lalu, kita berbicara Demokrasi berarti berbucara kebebasan hak. di Indonesia ada beberapa Agama yang diakui, dan semua Agama tersebut bebas mau beraktivitas. Jangankan Beraktivitas, berbagai Agama dan Golongan tersebut dari sejarahnya bahkan ikut merumuskan Kemerdekaan, Ideologi Negara dst, serta, jamaah Agama manapun dan Golongan Apapun, mudah mendapatkan pekerjaan, pendidikan, dan kebebasan mereka berekpresi. Di Amerika, Islam baru - baru ini mungkin yang mendapatkan angin segar, mendapatkan toleransi untuk bekerja, berpendapat dst. dan masih banyak lagi tentang Demokrasi - demokrasi yang hemat saya, justru amerika lah yang perlu disebut meniru kita.
Sekali lagi, saya tidak dalam rangka mendukung Demokrasi seperti hari ini, atau mau membangkitkan kembali Primordialisme. Konteksnya kita berbicara demokrasi, dan belajar menghargai sebuah produk yang dihasilkan oleh anak negeri. seperti halnya yang dijelaskan sedari tadi.Janganlah kita mengkerdilkan diri dengan mengagung - agungkan Barat, sementara sistem kita tanpa sadar sudah sangat melebih dari mereka. Dari itu, mari kita sadar Bahwa Kita yang hebat, bukan mereka, Kalau kata ini sudah tertanam dihati masing - masing, mungkin, Indonesia menjadi Negara terkuat didunia tinggal menuggu waktu saja.
Salam Djoeang

Selasa, 21 Februari 2017

Ilmu Falak dan PBS, Pentingkah?

Sebenarnya, Dikampus saya ngambil Jurusan Perbankan Syariah (PBS). Lalu, cukup mengherankan, jika ada mata Kuliah "Ilmu Falak" masuk di matakuliah PBS. Dari awal masuk semester 4 Lalu, saya sudah Ogah - ogahan untuk ikut mata Kuliah Ini. Sebab, saya mikir, Apa Hubungannya Antara PBS dan Ilmu Falak? Apa mungkin orang mau berurusan dengan Bank harus tau jadwal Sholat dan arah Kiblat?

  Tapi sayangnya, Mata Kuliah ini di Kartu Rencana Studi (KRS) Menjadi Matakuliah yang Wajib diikuti. Tidak ada pilihan lagi, saya harus ikut. Dan, byar...!! Saya tak lulus.

Hari ini, saya mengulang lagi Matakuliah Ilmu Falak ini. Dan, Karena saya sering berdiskusi dengan Om makmun, saya ada ketertarikan dengan mata kuliah ini. Meskipun, pikiran saya tetap merasa, mata kuliah ini 'Tidak Penting' untuk jurusan yang saya tempuh.

Lalu, didalam kelas, Dosen saya hari ini berbicara tentang Orientasi Mata Kuliah. Beliau bercerita tentang Peradilan Agama dan Peluang untuk menjadi Hakim diurusan Perbankan dan juga falakiah. Sebab, menurut beliau (Saya tidak akan sebut nama) sejak tahun 2005 kalau tidak salah, urusan Muamalat dan Kehakiman sudah ada di Peradilan Agama. Dan, disitu katanya yang ada hubungannya. Lagi - lagi, saya tidak nyambung.

Tanpa mengurangi rasa Hormat, saya tetap punya pikiran begini, kalau misalkan PBS itu mempunyai peluang untuk menjadi Hakim diperadilan, sepertinya kurang masuk akal. Karena, sekarang sudah ada jurusan Hukum Ekonomi Syariah (HES), Hukum Perdata Islam (HPI) dan yang lain. Belum lagi, mengacu ke Pengalaman teman - teman saya yang ingin menjadi Hakim, selain Lulus dijurusan Hukum (Sesuai Hukum yang dikehendaki), juga harus ikut Kuliah Profesi. Entah modelnya seperti apa.

Saya rasa, PBS adalah jurusan yang lebih spesifik lagi dari Ekonomi Islam atau Ekonomi Syariat. Yang mana, Jurusan ini murni mengacu pada terapan Perbankan. Bukan dari sisi Hukum. Kalau mau dibidang yang berbicara Hukum, ya itu tadi, Ada HES, HPI, maupun yang lain. Lalu, Ilmu falak, atau profesi yang berkenaan Dengan Falakiah, saya rasa sudah ada jurusannya masing - masing.

Pengalaman ini, mengingatkan saya pada diskusi dengan K. Musthofa (Putra Annuqayah daerah Sawajarin). Beliau yang menjadi Lulusan Ultrech Belanda dan Juga kampus di Norwegia melalui Program Eramus Mondus itu bercerita tentang perbedaan Pendidikan di Indonesia dan Eropa. Salah satunya, adalah lebih banyaknya mata kuliah yang ditempuh tiap semester di Indonesia dengan Eropa. Sehingga, Mahasiswa yang kuliah di Eropa akan Lebih terfokus pada Pelajaran agar maksimal. Misalkan, menurut beliau, waktu menempuh S2 tersebut, dalam satu tahun menempuh Mata Kuliah kurang dari 10 Materi. Beda dengan Di Indonesia, katanya.

Dan, saya berpikir (Saya tidak melihat aturan dari Menristekdikti) mungkin Kampus saya sedang 'Berlomba' memperbanyak matakuliah tersebut. Sehingga, ada matakuliah yang saya rasa sedikit dipaksakan. Sayapun berkeyakinan, kalau mata Kuliah 'Ilmu Falak' ini presentasinya untuk urusan Profesi, pasca lulus kuliah mungkin maksimal 10 % dari Lulusan PBS yang menganggap penting untuk Profesi mereka. Selebihnya, Sesuai dengan bapak Dosen Pengampu, Ilmu Falak 'hanya' akan penting urusan Ibadah personal Mahasiswa saja.

Selanjutnya, Mungkin jika boleh memberi saran, alangkah lebih efektifnya jika Mata Kuliah tersebut diganti atau dihapus dengan Mata Kuliah yang lain. Semaksimal mungkin, Mata Kuliah tersebut menjadi Mata Kuliah 'Pilihan'. Lalu, apakah saya akan dianggap menyesal karena tidak lulus? Tidak. Sama sekali saya tidak menyesal. Hanya saja, terutama kepada penjamin Mutu Kampus, ini menjadi Catatan bahwa, Ilmu Falak Tidak penting untuk Jurusan PBS.

NB : Mohon Maaf, tidak bermaksud menyinggung. hanya berusaha memberi masukan. Siapa tau ada yang mendengar.

Sedikit Ulasan Tentang Freeport dan Kedudukan Indonesia

Hari Ini adalah hari dimana Sutan Datuk Ibrahim (Tan Malaka) Ditembak Mati diwilayah selopanggung Kediri. Dan, Hari ini juga (Mungkin dari kemarin) Freeport kembali 'Memanas'. Pemerintah dan freeport sedang bernegoisasi, yang mana, Jika Permintaan Pemerintah terkabul, Posisi Indonesia akan kuat dalam konteks freeport.

Tahukah anda, Freeport ditemukan ditahun 30an. Dan, semasa Presiden Soekarno menjabat, Investasi dan Eksploitasi di Indonesia sulit berkembang. Sebagian dari kita mungkin ingat, Bagaimana Ir. Soekarno menolak dana IMF dan Bank Dunia. Lalu, Para Amerika dan Sekutunya bersama para Koorporasi Dunia untuk Mengeksploitasi dan berinvestasi di Indonesia harus menggulingkan dulu Proklamator Indonesia.

Amerika, Pada waktu itu menggunakan Boneka bernama Soeharto. Lalu, dibuatkanlah isu PKI Vs Agama yang membuat Soekarno Tumbang. Jutaan rakyat Indonesia mati sia - sia. Tidak hanya itu, Para Jendral yang posisi diatas Soeharto pun Menjadi Korban. Akhirnya, Soeharto Naik ke Puncak Pimpinan Indonesia dengan cara yang cukup culas. Surat Perintah Sebelas Maret (SUPER SEMAR), hingga hari ini tidak jelas kemana. Hanya saja, Soekarno dalam pidatonya mengatakan, Super semar itu adalah surat perintah pengamanan Nasional, bukan Mandat Sebagai Presiden.

Saat itu, PNI Berelaborasi dengan PKI yang kencang menolak Investasi Asing. Akhirnya, AS dan sekutunya membuat Agenda PNI habisi Ajarannya (Nasionalisme Indonesia menurut pandangannya Soekarno) dan PKI habisi Orang - orangnya.

Setelah sukses, Soeharto berkuasa, dan pada tahun 67 penandatanganan kontrak pertama PT Freeport Indonesia dan disusul oleh kontrak - kontrak lain. Disitu, Cengkraman IMF mulai mengerogoti Indonesia. Media Internasional, mulai menulis besar - besar dengan Judul "Secercah Cahaya dari Asia" dengan foto Soeharto.(Rule of the word).

Kampanye Amerika mengatakan, "Dengan Dana IMF dan Bank Dunia, ataupun investasi asing, Kita bangun Indonesia untuk lebih maju." padahal, kalau kita mau sadar, bahasa Investasi Asing adalah cara lain untuk membuat Indonesia memiliki ketergantungan kepada Amerika. Dan, sampai hari ini, kita masih belum bisa melepas cengkraman tersebut. Bisa anda pikir, bagaimana mungkin Bank Dunia yang menyebut dirinya paling hebat dari segi ekonomi, tapi cara meminjamkan Uang malah tidak sesuai dengan Konsep ekonomi.

Mohon maaf, saya mengulas sedikit. Teori sederhana yang bisa diterima oleh masyarakat, orang pinjam Ke Bank pasti diukur dengan Penghasilan. Jika penghasilan sebulan itu 10 Juta, bank tidak akan pernah mau meminjamkan diatas 10 Juta. Pasti dibawahnya. Sedangkan IMF dan Bank Dunia, memberi pinjaman lebih dari penghasilan Indonesia. Apa itu,? APBN. APBN kita 2000 an T. Sedangkan, Mereka meminjamkan dana kepada Kita lebih dari itu. Apa jaminannya? Kalau tidak seluruh alam di Indonesia, dengan Kompensasi Kebijakan?

Padahal, Mengutip bahasa Prof. Mahfudz MD di salah satu TV Swasta, Jika keadilan itu tercipta, masyarakat Indonesia miskin bersama pun tidak ada masalah. Hari ini, semenjak adanya Investasi tersebut, Jurang Perbedaan Kelas antara Kelas Miskin dan Kelas kaya semakin Jauh.

Hari Ini, dari beberapa waktu yang lalu, Isu Agama kembali dimainkan, menjadi sebuah komoditas Politik. Masyarakat Indonesia Dibuat gaduh 'Hanya' urusan Jakarta. Sementara, saat animo masyarakat demikian terhadap jakarta, Banyak kebijakan yang luput dari perhatian. Diantaranya, Pilkada - Pilkada di lain tempat yang berjumlah ratusan, yang sebenarnya tidak kalah pentingnya justru ditinggal.

Lagi, Negoisasi PT. Freeport juga luput dari pandangan kita. Saya mencurigai, persoalan Jakarta justru menjadi 'alat' untuk meloloskan yang 'Lain'. Akhirnya, saya tutup tulisan ini, Mari berhenti sejenak berbicara Jakarta. Kita mikir tentang NKRI dan juga salah satunya adalah Freeport. Kita desak ataupun dukung Pemerintah untuk menghentikan Kontrak dengan Freeport. Dan, Membuat Posisi Indonesia menjadi lebih kuat dipersoalan Freeport.

Selamat Malam Indonesia.

NB : Tulisan ini ditulis dari berbagai Sumber. Mohon maaf, jika ada yang salah mohon dikoreksi.