Gak nyambu |
Dulu, waktu kecil ketika
abah sama umi bertanya suatu saat mau jadi apa, saya selalu menjawab, saya
ingin menjadi Dosen terbang seperti Kiai A'la (Pengasuh Annuqayah Latee
sekarang). Padahal, saya tidak pernah tahu siapa atau lebih tepatnya tidak
bernah bertatap muka dengan Prof. K. A'la. Hanya sekedar diceritakan oleh orang
tua bahwa beliau itu orang hebat. Tak
ada angan-angan untuk menjadi seseorang yang 'dekat' dengan politik, apalagi
ikut-ikutan berpolitik.
Masa kecilku telah berlalu,
lanjut pada masa kenakalan remaja, hingga masuk perguruan tinggi. Sejak itu
pula, cita-cita kecilku mulai terlupakan. Impian saya mulai tidak terkonsep.
Masa-masa MTS hingga SMA, mulai terbawa arus. Bahkan, pasca lulus SMA, dan
hendak masuk kuliah, saya masih ikut arus. Akhirnya, kecelakaan terjadi, masuk
jurusan perbankan syariah.
Kenapa dianggap kecelakaan? Karena
sepertinya, lebih cocok apabila saya masuk ke Fakultas Hukum atau juga Sosial. Tapi
saya tidak menyesal dengan semua pilihan saya hingga hari ini. Sebab, ada
keyakinan bahwa, antara hukum, politik, ekonomi, sosial, pendidikan dst itu
mempunya satu hubungan membentuk satu kesatuan yang tak terpisahkan. Itu yang
saya pelajari dari seorang paman bernama Muhammad Affan, yang diambil dari
teori Tao.
Lanjut masa study saya di perguruan
tinggi, mengenal banyak teman baru. Pada akhirnya mengenal sebuah organisasi kemahasiwaan
yang sampai saat ini 'diimani'. Dari situ, saya mulai menyadari apa tujuan
pendidikan. 2012 yang lalu, masa awal kuliah mulai 'kenal' dengan tokoh-tokoh
besar. Meski sekedar membaca, saya pernah mencicipi buku Tan Malaka, Soekarno,
Hatta, Syahrir, Marx, Lenin, Paolo Freire untuk berbicara konsep perjuangan.
Urusan Agama, saya bukan
orang yang alim, akan tetapi, terlahir dari keluarga pesantren tentunya sudah
mendapat bimbingan dari sejak lahir. Siksa neraka yang mengerikan, tuntunan
salat, cerita kenabian, hingga pelajaran yang mungkin anak SMA belum pernah
merasakan, saya mencicipi. Dan semua tidak lantas harus membuat saya puas,
karena berkumpul dengan para guru, sekaligus paman, mbah dan saudara-saudara
yang sudah ‘alim’, tentunya dengan sangat sadar diri mengatakan, saya hanya
butiran debu di gurun pasir.
Ada sebuah kenangan yang
sampai saat ini mungkin ‘berjodoh’ dengan kehidupan kaum ‘merah’ atau
nasionalis. Suatu ketika mau berangkat mondok ke Pesantren Banyuanyar, Kabupaten
Pamekasan, saya ‘mencuri’ buku abah berjudul “Obor Kebangkitan Rakyat” sayang
saya lupa penulisnya. Buku yang kata abah ini pemberian dari paman Abdus Salam
Syah (Dulu DPRD) ini menceritakan tentang perjalanan Sarikat Islam. Dalam buku
itu juga disinggung mengenai perpecahan di internal SI, antara kelompok Hos.
Cokroaminoto yang dikenal dengan SI Putih dengan kelompok Samaon atau yang
dikenal dengan SI Merah pun juga dikenal SI Semarang.
Dari situ, saya bahkan
menyebut seorang Samaon serta tokoh-tokoh SI Merah itu “Kiai”, hingga hari ini masih
sering menggunakan panggilan itu. Kemudian, baru tahu bahwa SI Merah berubah
bentuk menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Diam – diam, sebelumnya ada
ketertarikan dengan seorang Samaon, sebab, beliau menjadi salah satu orang yang
sudah bisa memimpin pergerakan diusia yang sangat muda, belasan tahun.
Abah yang Alumni Banyuanyar,
masih sangat SI hingga sekarang. Bahkan, beliau selalu berkata sama
anak-anaknya, karena doktrin dari seorang guru, selama masih ada Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), beliau akan tetap menjadi pemilih partai berlambang Ka’bah
tersebut. Makanya, kalau anak – anak abah suatu saat mau mencalonkan diri di Legislatif
atau juga Kepala, dari Kabupaten hingga Negara agar beliau memilih, maka
masuklah ke PPP.
Nah, lagi – lagi sayang,
buku itu hilang setelah saya mondok di Al – Kautsar. Padahal, buku itu adalah
buku ‘berat’ pertama untuk anak MTS hingga SMA waktu itu selesai dibaca.
SMA sederajat, saya
menghabiskan 3 Lembaga Pendidikan. Pertama Al-Kautsar, lalu ke SMA Al-Azhar (Di
dekat rumah, bukan kairo atau yang Jakarta sekolahnya Afgan), terakhir di SMK Mambaul
Ulum Guluk-guluk. Akhir waktu SMA, takdir mempertemukan diri saya dengan paman
dari pesantren Annuqayah, namanya Muhammad Affan. Baru setelah itu dengan keluarga
besar pesantren yang lain. Sampai hari ini, panggilan “Paman” diganti dengan “Oppa”.
Entah bagaimana awalnya kenapa harus diganti oppa.
Oppa itu seorang seniman
tidak menunjukan ke-seniman-nya kepada khalayak. Beliau saudara penyair,
penulis ‘keren’ Muhammad Faizi. Dari oppa lah
perkenalan dengan dunia Tao, Rumi, hingga Nabi Muhammad SAW dari sisi yang
sebelumnya belum diketahui. Salah satu kesan yang paling istimewa, adalah saat
dimana saya dikenalkan kepada seorang Martin Lings, penulis buku “Muhammad”
yang mencerahkan. Pelan-pelan beliau mengajarkan sejarah, dan ilmu yang nyerempet pada persoalan Agama dan
Toleransi.
Tulisan Martin Lings saya
pinjam hingga satu bulan lebih. Saya rela berbohong dengan makna yang
sebenarnya agar bisa mengulang-ulang baca buku itu. Buku catatan mahasiswa
Eropa yang didalamnya ada tulisan paman Muhammad Musthafa pun tidak terselesaikan hingga hari ini. Sebab, ada banyak sisi
yang baru diketahui tentang Junjungan Islam, Nabi Muhammad. Oia, sekarang kita
masuk bulan Maulid, boleh kita baca selawat dulu, Allahumma’ shalli ‘ala Muhammad. Tahun 2012 pinjam, 2017 buku Martin
Lings sudah ada dibarisan perpustakaan pribadi.
Di Organisasi, literasi yang
saya sebutkan sebelumnya membentuk mindset
berkarakter nasionalis. Memang, Organisasi yang saya imani ini berpaham
Soekarnoisme, atau Nasionalisme, lebih tepatnya Marhaenisme. Kaderisasi di dua
kali di tempat yang berbeda, pertama di Pamekasan sendiri, dan kedua di Jember mengajarkan
kepada saya untuk dekat dengan kaum ‘Marhaen’.
Buruh, Petani, bukan hal
asing dalam pergaulan sehari-hari, apalagi pejabat, politisi dan para ‘pemain’
di tempat yang disebut ‘Parlemen Jalanan’. Disini, Dosen yang menjadi cita-cita
kecil benar-benar terlupakan. Ada anggapan, ‘Demo’ dengan atas nama rakyat,
apalagi yang benar-benar mendampingi rakyat merupakan pekerjaan yang paling
mulia. Dosen, pejabat dan legislatif selalu ada ‘kemungkinan’ untuk salah, atau
mungkin memang wajib disalahkan. Terutama, untuk dosen PNS yang juga menjabat
di birokrasi kampus.
Ada banyak senior yang mau
bersabar mengajarkan banyak ilmu. Beberapa orang yang paling berpengaruh dalam
Organisasi, diantaranya, Mas Imam Khairullah, Mas Samhari, Mas Miftahuddin
Hasan, dan yang lain yang tak bisa disebutkan satu-satu. Ada juga dari
organisasi sebelah pun tak kalah mempengaruhi pola organisasi saya,
yakni mas Firman Syah Ali, Mas Agus Sudjarwadi dan yang lain.
Banyak pengalaman yang
terlewati. Melihat banyak orang yang bermuka manis dan berteriak atas
kepertingan rakyat, dibelakang melakukan transaksi yang menjijikkan, itu
makanan sehari-hari saya. Berbicara kemerdekaan, tapi setiap gerakan mereka,
ada yang intervensi. Persatuan, mereka bilang menjadi junjungan, namun ketika
potongan kue tidak dibagi rata, kekuatannya dijadikan alat untuk pecah-belah. Ada
yang berbicara Agama, tapi tak ada cerminan yang patut dicontoh dari
prilakunya. Kehidupan menjadi penuh intrik, dan terbangun prinsip sederhana “Kalau
tidak membunuh, maka akan terbunuh”.
Memang tidak semuanya yang
menjadi monster. Masih ada sebagian kecil dari mereka yang mempunyai idealisme
atau mereka yang tetap Tuhan jaga kepolosannya. Dari pergaulan itu, saya mulai
mencari cara dan mendefinisikan sendiri apa itu ‘Perjuangan’. Mundur teratur
dari pergaulan adalah cara paling ampuh ketika sudah merasa mau terjerumus
lebih jauh. Dan, memilih memperbanyak ruang-ruang diskusi menjadi salah satu
pilihan yang paling tepat untuk menerapkan konsep “Aksi Massa”.
Iya Aksi Massa, tulisan
Datuk Ibrahim Tan Malaka. Di buku itu tertulis, perjuangan akan berjalan dengan
‘sempurna’ apabila kita mau bersabar mencerdaskan massa, atau rakyat, atau
siapapun yang kita jadikan ‘objek’. Apabila massa itu sudah cerdas akan hak dan
kewajibannya, mereka bergerak dengan sendirinya. Sehingga, ketika ada yang
berbicara “Ini adalah suara rakyat”, ketika ditanya rakyat yang mana, maka,
kita tidak akan tertunduk malu dan mencari pembenaran. Bukankah Nabi juga
mengajarkan hal yang sama? Sehingga, salah satunya ketika beliau mengajak hijrah ke Madinah, para sahabat dengan
sadar akan kebutuhan untuk hijrah tersebut.
Di periode ini, ada
keinginan untuk masuk kepada sebuah organisasi politik atau partai, dengan kata
lain saya ingin menjadi politisi. Dan, tercapai apa yang menjadi keinginan,
dengan sangat mudah oleh seorang paman dimasukan saya ke dalam struktur
kepengurusan. Mungkin, hingga hari ini nama Addarori ada di struktur itu. Tanpa
babibu apalagi dengan banyak trik dan
intrik, posisi dapat tempat ‘terhormat’.
Berbagai persoalan,
mengantarkan diri ke Provinsi yang banyak gajahnya, Lampung. Di sebuah Kota
kecil Metro, mulailah kehidupan baru, dengan banyak orang baru. Perkenalan dengan
orang-orang disini dimulai dari bang Desta, bang Oki, rahmat, bang Ade dan yang
lain. Ada keyakinan, saya akan membuat perubahan atas diri sendiri agar lebih
baik disini.
Dengan kehidupan baru,
Aksi Massa tetap menjadi pegangan. Tetapi, hal itu tidak mudah untuk
diterapkan. Banyak persoalan yang
menjadi hambatan, seperti, kehidupan kampus yang mempertemukan dengan
beberapa Dosen yang bersikap laiknya Dewa atas pembenaran dari sikapnya. Teman-teman
mahasiswa yang apatis dan menjadi takut untuk kritis atas keadaan, apalagi yang
berkenaan dengan keadaan mereka sendiri di Kampus, karena berkaitan denga
Nilai, serta persoalan-persoalan lain. Belum lagi, lidah madura yang tidak
terbiasa dengan makanan pedas, menambah kesulitan saya dalam beradaptasi.
Tiga
teman
baru yang bergaul laiknya saudara, dan ketiganya perempuan. Ulfa, Diah dan
Wilia ini saya ajak untuk belajar bersama. Membaca dan diskusi, atau juga
sekedar seru-seruan, menjadi kegiatan sehari-hari ketika satu kelas. Harapan suatu
saat mereka menjadi teman atau lawan diskusi selalu disematkan padanya.
Disini, cita-cita kecil itu
mulai tumbuh kembali. Ada keinginan untuk menjadi praktisi pendidikan di
kampus, atau Dosen. Apa gerangan yang menumbuhkan kembali? Dari beberapa
literasi, dan beberapa pengalaman, saya percaya bahwa pendidik adalah pekerjaan
mulia, dan kampus merupakan ‘corong’ dari sebuah Ideologi. Lalu, pendidik di
lingkungan kampus, tidak harus meninggalkan politik. Tak jarang, politisi yang
lahir dari ‘rahim’ ini, lebih bermartabat dari pada yang terlahir dari ‘jalanan’.
Sebut saja salah satunya adalah Prof. Mahfud MD, yang hinggga hari ini saya
anggap salah satu tokoh paling independen, dan mau berbicara sesuai keyakinan
yang beliau anggap benar
Pengertian akan Tri Darma Perguruan
Tinggi melengkapi kepercayaan akan keinginan ini. Hemat saya, idealnya kampus
benar-benar menjadi Agen perubahan, sosial, dan kontrol akan sebuah keadaan. Itu
juga yang sering disampaikan kepada teman-teman tadi. Sehingga, mereka tidak
alergi untuk menjadi kritis juga dikritisi.
Dari itu semua, entah
mengapa, cita-cita kecil sebagai pendidik itu sangat dekat. Apalagi, sebelum
pindah kesini Tuhan sudah mempertemukan dengan idola kecil saya dulu. Sebelumnya,
dengan beliau sudah berteman di media sosial facebook. Tidak usah ditanya,
bagaimana perasaan waktu bertemu saat itu, atau ketika di pemberitahuan
tertulis bahwa beliau membaca status saya.
Tuhan maha punya banyak cara
untuk membolak-balikan hati dan pikiran. Mungkin, perjalanan yang sudah jauh
ini, diingatkan bahwa selama ini bukan jalan yang harus saya lalui. Persoalan cita-cita
itu tercapai atau tidak itu belakangan. Yang terpenting, bahwa proses atau
perjalanan selama ini membuat hikmah yang luar biasa, itu sebuah keniscayaan. Sehingga,
ada sikap kehati-hatian untuk melangkahkan kaki kedepan. Dan tidak lupa, untuk
menjadi pendidik yang baik, maka harus mencari Ilmu sebanyak mungkin. Minimal,
ilmu itu untuk mendidik diri sendiri agar terbebas dari kebodohan-kebodohan
yang mengikat. Bismillah.
Metro 30/11/2017
01.05 Wib